Hari masih gelap Matahari belum menampakan cahayanya, ini baru jam 04:30 pagi, tapi aku harus segera bangun dari tempat tidur. Aku membantu ibu merapikan rumah dan mempersiapkan dagangan yang akan aku bawa ke sekolah. Namaku Isti, aku tinggal di daerah Malimping, pelosok kota Pandeglang-Banten. Desa terpencil yang jauh dari keramaian. Aku tinggal bersama kedua orangtuaku dan dua adik perempuanku. Ibuku bekerja sebagai buruh cuci di desa. Ayahku menjadi buruh bangunan terkadang ia harus pergi ke kota untuk bekerja. Kedua adikku mereka masih sangat kecil.
Jam 05.00 aku bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Untuk sampai di sekolah aku memerlukan waktu 2 jam. Cuma sekolah ini lah yang paling dekat dengan rumahku. Hanya ada satu angkutan umum untuk sampai ke sekolah, kami harus berlomba-lomba masuk bahkan sebagian harus duduk di atap mobil. Perjalanan yang rusak harus aku dan teman-teman lewati, terkadang jika hujan turun banjir pun datang. Kondisi sekolah pun sangat tidak layak untuk di tempati, atap-atap yang sudah bocor. Tembok gedung pun sudah banyak yang retak. Sungguh sangat ironis sekali. Tidak ada fasilitas komputer di sekolahku seperti di kota-kota. Kini hanya ada beberapa guru di sekolahku. Mereka pun memutuskan untuk pindah mengajar.
Ingin rasanya aku mengeluh tentang ini semua. Tapi aku bingung kepada siapa aku mengeluh selain kepada Tuhan. Aku ingin seseorang itu menepati janji-janjinya yang dulu ia ucapkan saat ia membutuhkan kami. Saat ucapan-ucapan manis terucap dari mulutnya. Tapi kini dimana ia?. Aku tak tau kapan ia akan sadar! Kapan ia akan memperhatikan kami!.
Sampailah disekolah, kami harus segera baris di lapangan karena upacara bendera akan dimulai. Kegiatan ini sering kami lakukan di senin pagi. Karena bagi kami, kita harus tetap menghormati sang Merah Putih walau bagaimana pun keadaan kita. Walau lapangan sekolah kami agak sedikit becek karena hujan yang turun semalam. Tiang bendera yang sudah berkarat.Tapi ini bukan kendala bagi kami. Kami tetap semangat.
Kini saatnya aku mengikuti pelajaran di kelas. Hari ini aku belajar Bahasa Indonesia, pak Sutrisno namanya kami biasa memanggilnya bapak Ino. Ia sudah tua, tapi ia tetap semangat mengajarkan kami. Pak Ino selalu berkata “ kalian harus tetap semangat, jadilah anak yang bisa dibanggakan” kata-kata itu selalu terngiang ditelingaku, selalu teringat dipikiranku karena hampir setiap pak Ino mengajar ia selalu berkata itu. Kata-kata beliau lah menjadi motivasi dalam hidupku.
Jam istirahat pun tiba. Kini saatnya aku mulai menjual daganganku. Aku menjual gorengan dan es lilin. Aku menjualnya dengan harga tiga ratus rupiah perbuah. Alhamdulillah aku bisa sedikit membantu kedua orangtuaku. Terkadang daganganku tidak habis terjual. Dan aku harus melanjutkan berjualan nanti setelah pulang sekolah. Sekarang aku pun kembali ke kelas untuk melanjutkan belajar.
Pukul 12.00 pun tiba. Lonceng telah berbunyi ini saatnya kami harus pulang. Kami harus pulang dengan berjalan kaki. Karena tidak ada angkutan umum. Angkutan itu hanya mengantarkan kami di pagi hari. Memang ini yang biasa kami lakukan jika pulang sekolah. Kami harus mencopot sepatu sebelum melanjutkan berjalan, karena jika kami memakai sepatu, sangat rugi bagi kami. Jalanan yang becek dan terjal terkadang membuat kami terjatuh dan membuat sepatu kami kotor dan cepat rusak. Entah sampai kapan kami harus merasakan seperti ini. Mungkin sampai ia sadar.
Sampailah aku di rumah, aku pun beristirahat sejenak sebelum aku membantu ibu. Setiap hari aku membantu ibuku mencari kayu bakar dan mengambil daun pisang di kebun. Kegiatan ini rutin aku lakukan sehabis pulang sekolah. Aku pun berangkat ke kebun. Kebun ini pun bukan punya kami. Kebun ini milik tetanggaku. Ia mengijinkan kami mengambil daun pisang asalkan hasilnya dibagi dua.
Waktu pun terus berputar. Malam pun tiba, aku pun membuka kembali buku-buku. Aku membaca pelajaran yang sudah diberikan oleh guru tadi siang. Aku belajar ditemani dengan lampu petromak, hanya itu satu-satunya penerang di rumahku. Listrik di rumahku sudah di cabut oleh PLN. Karena ayahku sudah lama tidak membayar. Pikiranku pun teringat kembali kepada janjinya. Ia berjanji akan memberikan listrik gratis kepada warga. Jika ia terpilih. Ia sudah terpilih bahkan sudah bertahun-tahun ia menjabat. Tak pernah ia menepati janjinya. Waktu pun sudah larut malam aku pun harus tidur karena esok pagi aku melanjutkan kembali aktifitasku.
Pagi pun tiba. Seperti biasa aku akan berangkat ke sekolah di pagi hari. Setiap hari kegiatan ini pun harus kami lakukan berebut masuk kedalam angkutan umum. Melewati jalan-jalan yang rusak. Entah sampai kapan?. Aku ingin ia segera sadar pada janjinya. Janji yang ia ucapkan saat pemilihan gubernur tahun lalu. Kami ingin sekolah kami menjadi layak untuk digunakan tidak seperti sekarang atap-atap yang bolong sangat mengganggu kami ketika belajar. Apalagi jika hujan turun. Ia berjanji memperbaikinya. Tapi apa sampai sekarang. Tidak ada! Janji manis itu hanya ucapan saja. Hanya sebuah rayuan gombal. Dan terlalu bodohnya kami tergiur oleh janji-janji manisnya.
Hujan pun turun begitu deras. Kami sangat sibuk memindahkan buku-buku dan mencari tempat yang tidak terkena air. Angin pun bertiup kencang. Atap-atap pun berterbangan. Akhirnya belajar pun dihentikan karena guru-guru dan kepala sekolah takut sekolah tiba-tiba roboh. Kami pun berlarian keluar kelas. Apakah kami akan terus seperti ini?
Tiba di rumah, seperti biasa aku langsung membantu ibu. Aku ingin sekali mengirimkan keluhanku yang sudah ku tulis. Aku ingin mengirim tulisan ini kepada ia. Tapi aku tak tau dimana ia tinggal. Apakah tulisan ini akan sampai? Namun jika tidak segera aku mengirimnya. Kapan sekolah kami akan di perbaiki. Akhirnya setelah aku selesai membantu ibu. Aku pun pergi ke kelurahan yang tidak jauh dari rumahku. Disana terdapat kotak pos. semoga surat ini dibaca olehnya dan dimengerti maksudnya. Aku pun memikirkan alamatnya Karena aku tidak tahu. Mau bertanya pada siapa aku. Kepada Pak Rt. Pak Rw. Atau Pak lurah. Ah rasanya itu tak mungkin. Akhirnya aku tulis saja di amplop itu “SURAT CINTA UNTUK BU GUBERNUR” “Pak pos, siapapun anda tolong antarkan surat ini kepada ibu Gubernur tercinta”. Entah surat itu akan di antarkan atau tidak. Akan sampai atau tidak. Aku tak pernah tau. Aku hanya bisa menanti perubahan itu terjadi.
0 komentar:
Posting Komentar